Hollywood. Di tengah jalan dia berubah pikiran, banting setir menjadi
novelis. Mirip kode-kode rahasia yang tersebar di buku superlarisnya,
The Da Vinci Code, jalan hidup Brown pun menyimpan banyak
rahasia. Inilah sebagian kisahnya, dinukil dari buku The Man
Behind The Da Vinci Code, karangan Lisa Rogak (dialihbahasakan
oleh Burhan Wirasubrata, diterbitkan oleh UFUK Press, Jakarta).
Susah mencari kata yang tepat untuk melukiskan sihir novel The
Da Vinci Code. Selain laris manis dan dipuja-puji, buku ini
juga menuai kontroversi di kalangan umat Katolik. Di luar kritik
pedas Vatikan, hampir selusin buku telah dibuat untuk menghujat,
mengritik, maupun sekadar membonceng popularitas Brown.
Sampai 2005, The Da Vinci Code sudah diterbitkan dalam
44 bahasa. Film layar lebarnya pun sedang diputar di bioskop-bioskop
di seluruh dunia, dengan Tom Hanks berperan sebagai Robert Langdon,
tokoh jagoan dalam novelnya.
Pada tahun pertama, novel The Da Vinci Code laku 6,5 juta
eksemplar (di Amerika Serikat saja), dan melonjak menjadi lebih
dari 10 juta eksemplar di penghujung tahun kedua.
Keberuntungan sang penulis tak berhenti sampai di situ. Sejak
"kode Da Vinci" meledak, penggemarnya mulai mencari tiga novel
Brown sebelumnya. St. Martin's Press (penerbit novel Digital
Fortress), Simon & Schuster (penerbit Angels & Demons
dan Deception Point), bak ketiban durian runtuh. Buku-buku
yang nyaris "masuk museum" itu tiba-tiba dipesan banyak orang,
bahkan merangsek masuk daftar buku laris (best seller).
Tak heran kalau dalam daftar 100 Selebritis 2005 versi Majalah
Forbes, Dan Brown sanggup menyeruak hingga posisi 12. Forbes
memperkirakan, doku di saku Brown kini tak kurang dari
AS $ 76,5 juta. Padahal, kalau saja penjualan The Da Vinci
Code tidak meledak di pasar, barangkali justru kepala Dan
Brown-lah yang bakal "meledak". Tiga novelnya terdahulu hanya
bertiras di bawah lumayan, sehingga kepiawaian Brown menjual kata-kata
mulai diragukan penerbit.
Beruntung, ia berhasil memecahkan "kode rahasia" Leonardo Da
Vinci di saat yang tepat.
siapa Brown
Selain kedua orangtuanya, Dan Brown menyebut istrinya, Blythe Newlon, sebagai orang paling berpengaruh dalam kehidupannya. Brown menggambarkan Blythe sebagai perempuan cerdas, lucu, kreatif, cantik, terbaik, dan tidak pernah membiarkannya gagal melakukan sesuatu. "Blythe juga bisa melukis dan memasak selagi aku menulis, rekaman, atau mengajar."
"Aku senang, Blythe mau ikut ke New Hampshire. Kami lalu menukar BMW dan Mercedes dengan beberapa sepeda gunung untuk kembali ke realitas sebelumnya. Aku tak sabar, dan merasa sudah benar-benar siap untuk berubah," kenang Brown. Selain menyukai musik, keduanya punya minat yang sama pada sejarah seni. Blythe juga tenaga humas yang handal. Ketika album-album Brown dikeluarkan, Blythe-lah yang mengatur promosi dan membuat janji wawancara dengan wartawan.
Brown juga tidak pernah melupakan jasa sobat-sobat lamanya semasa "susah" dulu. Semisal editor Jason Kaufman yang mengajaknya hijrah ke Doubleday. Atau pustakawan Stan Planton yang selalu setia membantu Brown memecahkan informasi-informasi dan kode-kode rumit.
Tak ketinggalan, dia juga "berterima kasih" pada orang-orang yang selama ini menjadikan The Da Vinci Code sebagai wacana kontroversi. Masuk dalam kategori ini, mereka yang membuat buku untuk mengomentari "kode Da Vinci" versi Brown, seperti Breaking the Da Vinci Code (karangan Darrell L. Bock), The Da Vinci Deception (Erwin W Lutzer), Cracking Da Vinci's Code (James L. Garlow dan Peter Jones), dan The Da Vinci Hoax (Sandra Miesel dan Carl Olson).
Brown bahkan sempat menunda penerbitan novel kelimanya, The Solomon Key, karena tidak ingin diserbu lagi oleh buku-buku sejenis. Dia tak sedang butuh uang atau popularitas, sehingga punya banyak kesempatan untuk memeriksa kembali naskah novel terbarunya, agar fakta-fakta yang disampaikan lebih terjaga. Dia ingin The Solomon Key 10 kali lebih teliti dari The Da Vinci Code.