Friday, October 26, 2007

Pandemi si dewa kematian

Pandemi dalam Sejarah
Pandemi pertama yang tercatat dalam sejarah terjadi ketika tahun 430 sebelum Masehi. Ketika perang Peloponnesia antara dua negara kota Yunani kuno, Athena dan Sparta. Strategi yang diterapkan oleh Pericles, pimpinan dan Athena, dengan bertahan di dalam tembok kota untuk menghadapi kepungan pasukan Sparta yang memiliki kekuatan lebih besar tampaknya membawa hasil yang memuaskan. Namun apa yang terjadi justru diluar perkiraan siapapun. Penduduk Athena justru harus menghadapi dewa maut, wabah penyakit yang selama empat tahun kemudian menyebabkan kematian sepertiga warga dan militernya.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Thucydides, ahli sejarah Yunani, dengan detail tentang gejala-gejala penyakit misterius itu. Warga yang sehat tiba-tiba diserang penyakit, yang dimulai dengan rasa panas seperti terbakar di kepala. Kemudian terjadi radang sampai merah membara di mata dan organ bagian dalam seperti tenggorokan atau lidah. Radang itu sampai berdarah dan mengeluarkan bau busuk yang tidak alami.
Tetapi itu baru permulaan saja, pasien kemudian menderita bersin dan batuk, diikuti dengan diare, muntah-muntah dan sekujur tubuh kejang.Kulit penderita menjadi pucat dan penuhi benjolan serta bisul. Tenggorokan terasa seperti terbakar dan penderita terus menerus merasa haus. Kebanyakan warga Athena yang terserang penyakit ini meninggal dunia pada hari ketujuh atau kedelapan.Tetapi ketika penyakit bergerak ke bagian pencernaan tubuh, yang ditandai dengan luka lambung dan diare yang parah ditambah dengan daya tahan tubuh yang rentan, kebanyakan orang saat itu yang mengalami ini juga meninggal.Hanya sedikit orang yang selamat, tetapi sering kali mereka pun kehilangan jari tangan, jari kaki, alat vital atau pengelihatan mereka.
Itulah gambaran tentang pandemi pertama di dunia yang tercatat dalam sejarah. Selanjutnya pandemi kembali melanda pada abad kedua Masehi di kerajaan Romawi ketika tahun 165 M pasukan Romawi pulang dari di Timur membawa penyakit yang diyakini banyak ahli sebagai penyakit cacar. Wabah ini menewaskan sekitar lima juta orang. Wabah kedua merebak antara tahun 251 dan 266 Masehi, dan pada masa terburuk wabah itu dikatakan menewaskan 5.000 warga Romawi setiap harinya.
Pandemi berikutnya adalah penyakit yang pada awalnya disebut wabah Justinian. Seperti diketahui lebih lanjut dalam sejarah, penyakit yang ternyata dibawa oleh kutu dari tikus itu sebenarnya adalah pandemi penyakit pes pertama yang menelan korban jiwa besar. Dari tahun 541 sampai 542 Masehi, wabah itu membunuh 40%penduduk Konstantinopel. Sejarawan Bizantium, Procopius mengklaim bahwa pada puncaknya wabah penyakit pes itu menelan korban jiwa 10.000 orang per hari. Penyakit ini kemudian menyebar ke seluruh kawasan timur Laut Tengah dan menewaskan seperempat penduduk kawasan tersebut.Wabah besar kedua yang terjadi pada tahun 588 Masehi menyebar lebih jauh lagi sampai ke Perancis dan menyebabkan korban jiwa akibat penyakit pes di Eropa mencapai sekitar 25 juta orang.
Sebutan yang lebih terkenal untuk penyakit pes ini adalah black death (maut hitam) dikarenakan kulit korban yang terkena penyakit ini menghitam karena pecahnya pembuluh darah di bawah kulit. Penyakit ini kembali menyerang daratan Eropa dan Mediterrania dari 1347 hingga1351. Masa itu adalah awal dari siklus berkepanjangan serangannya yang berlanjut hingga awal abad ke-18. Serangan besar terakhir yang tercatat adalah yang terjadi di Marseille pada1722 (Osheim, 2005).
Kolera adalah pandemi berikutnya yang menakutkan umat manusia. Meskipun hingga sekarang di beberapa daerah termasuk Indonesia masih dapat di temui, penyakit yang pertama kalinya disebutkan oleh seorang dokter berkebangsaan Portugis, Garcia de Orta pada abad 16 M namun penyakit ini mencapai puncaknya pada tahun 1816. kolera ini muncul juga di India dan menyebar masuk Rusia dan Eropa Timur hingga Amerika Utara.
Memasuki abad 20 pandemi yang terjadi adalah pandemi influenza. Dalam abad lalu tercatat tiga pandemi flu. Yang pertama dan terburuk adalah flu Spanyol yang terjadi pada tahun 1918 di tiga lokasi yang saling berjauhan: Brest di Perancis; Boston di Amerika Serikat; dan Freetown di Sierra Leone. Penyakit itu memiliki tingkat kematian tinggi dan yang mengherankan orang berusia 20 sampai 40 tahun yang jatuh menjadi korban dan bukan mereka yang tua renta. Penyakit flu juga mampu bergerak dengan sangat cepat dengan membunuh 25 juta orang dalam waktu enam bulan. Seperlima warga dunia terinfeksi. Sampai hari ini, asal jenis flu manusia itu belum pernah ditemukan tetapi penelitian baru yang dilakukan oleh Institut Penyakit Menular pada Angkatan Bersenjata Amerika Serikat mengisyaratkan bahwa kemungkinan besar penyakit influenza berasal dari burung.
Influenza kemudian menghilang hampir sama cepatnya, namun setelah menewaskan sekitar 40 juta orang. Jumlah ini lebih besar dari korban jiwa dalam Perang Dunia Pertama yang berakhir pada waktu yang hampir bersamaan hingga kemudian dunia kembali menemukan panyakit flu burung di Hongkong pada tahun 1997. Flu burung tidak dikenal menyerang manusia sampai ditemukan kasus di Hongkong ini menyerang 18 orang dan menewaskan enam diantaranya. Kematian diakibatkan radang paru-paru dan gangguan pernafasan, gagal ginjal dan komplikasi lainnya. Gejala timbulnya penyakit ini sama dengan influwnza biasa yaitu demam, batuk dan sebagainya. Walaupun manusia punya kekebalan terhadap virus influenza namun pada kasus flu burung inu tubuh kita belumterbiasa dengan varietas virus yang baru ini (King, 2005).
Ilmuwan mengidentifikasikan variasi jenis dari virus influenza berdasarkan dua protein kunci yang ditemukan di permukaan tubuhnya. Dua jenis tersebut adalah hemagglutin (H) dan neuraminidase (N). Terdapat 15 subtipe utama dari protein jenis H dan 9 jenis dari protein jenis N. Virus yang ditemukan di Hongkong disebut H5N1 karena protein kunci yang ditemukan di permukaan tubuhnya dalah dari subtype H5 dan N1. Beberapa unggas di Eropa dan bagian timur Amerika Serikat mengalami wabah dari jenis H7 yang dipercaya kurang berbahaya bagi manusia (King, 2005).
Bank Dunia mendesak para pembuat kebijakan di seluruh dunia agar menjadikan ancaman pandemi flu burung global prioritas utama mereka. Organisasi itu mengatakan, pihaknya sangat khawatir akan dampak ekonomi yang dapat ditimbulkan oleh pandemi global, dan menyerukan agar segala cara dilakukan guna membatasi penyebaran flu burung pada sumbernya, sehingga mengecilkan resiko pandemi di kalangan manusia.
Pernyataan tersebut dikeluarkan dalam sebuah laporan mengenai prakiraan ekonomi di Asia Timur, yang menurut Bank Dunia sudah menderita dampak ekonomi utama dari penyebaran virus H5N1 di kalangan unggas. Industri unggas paling menderita secara ekonomi sejauh ini. Pemusnahan unggas telah menyebabkan pasok ayam dan unggas lain turun 15-20% di negara yang paling parah terkena, Vietnam dan Thailand. Pengusaha ternak dan pedagang ayam menderita kerugian besar karenanya.
Dalam masalah kesehatan, kekhawatiran terbesar adalah virus ini bisa berkembang sehingga menular dari manusia ke manusia. Ini tentu saja akan menimbulkan konsekuensi serius karena akan sangat berpengaruh pada industri seperti turisme dan perhubungan. Seorang pejabat tinggi PBB memperingatkan, mungkin akan terjadi wabah baru influenza setiap saat, yang mungkin menewaskan 150 juta orang.
Tamiflu, Roche dan TRIPs
Sementara wabah semakin menjalar, beberapa negara berkembang mengatakan mereka terpaksa keluar dari persaingan untuk membeli tamiflu, satu diantara segelintir obat yang dianggap efektif melawan virus flu burung H5N1, karena mereka tidak mampu membeli. Produsen Tamiflu, Roche, mendapat tekanan besar untuk memproduksi lebih banyak obat dan membolehkan perusahaan-perusahaan obat lainnya meniru obat itu dengan biaya lebih murah. Roche mengatakan pihaknya akan berbicara dengan pemerintah berbagai negara dan perusahaan obat lain untuk memberi mereka izin membuat Tamiflu (bbcindonesia.com-18/10/2005).
Hal seperti ini dapat terjadi diakibatkan diterapkannya perluasan perlindungan paten dalam TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) untuk produk obat-obatan. Melalui mekanisme kesepakatan WTO paten ini menghambat kemungkinan produsen obat lokal untuk memproduksi obat generik dan obat penyelamat hidup (life saving drugs). Sebelum ditetapkan TRIPs, produsen lokal diperbolehkan memproduksi obat-obatan sejenis dengan proses yang berbeda karena proses pembuatannya tidak termasuk dipatenkan.
Karena itulah dilakukan tekanan terus menerus untuk merubah ketetapan ini karena nyawa manusia yang jadi taruhannya. Negara-negara Afrika dan kelompok masyarakat sipil termasuk yang paling gencar melancarkan kampanye tentang dampak TRIPs ini terhadap akses obat-obatan bagi orang miskin. Pada akhirnya negara-negara maju mengijinkan impor pararel dan lisensi wajib bagi obat-obatan.
Lisensi wajib adalah penggunaan obyek paten tanpa ijin dari pemegang haknya ketika keadaan darurat seperti ketika pandemi menyerang dan bencana alam. Impor pararel adalah pembelian langsung dari pihak ketiga di negara lain bukan dari produsen karena terkadang produsen memberlakukan harga yang berbeda untuk negara yang berbeda. Dengan kedua mekanisme yang ada ini diharapkan dapat diterima obat dengan harga yang lebih terjangkau dan dunia dapat lebih siap siaga menghadapi pandemi seperti flu burung yang saat ini masih mengancam (Jhamtani, 2005).