Benyamin Disraeli (1808 - 1881), Perdana Menteri Inggris, pernah berkata, "Lies, Damned Lies, and Statistics." Tak berbeda jauh dengan Disraeli, seorang pemimpin kita pernah berucap, "Jangan percaya statistik." Anehnya, sewaktu berkampanye, ia selalu mengemukakan data statistik keberhasilan pemerintahannya dan rencananya ke depan. Kelihatannya, kedua pemimpin ini pernah merasa dibohongi oleh data statistik. Akan tetapi bagaimana mereka mengambil keputusan jika tidak didukung oleh data statistik? Cukupkah hanya dengan intuisi?
Statistik sudah ada sejak kebudayaan mulai dikenal dengan munculnya simbol-simbol atau gambar-gambar yang mewakili jumlah penduduk, jumlah binatang, jumlah panen, dan lain-lain. Simbol-simbol itu bisa dijumpai di berbagai benda, seperti kulit binatang, kayu, dan tembok. Tahun 3000 Sebelum Masehi (SM), orang Babilonia (sekarang Irak) menggunakan lembaran tanah liat untuk mencatat jumlah hasil panen atau komoditas yang dijual dan dibarter. Orang Mesir mencatat populasi penduduk dan kekayaan negaranya jauh sebelum membangun piramid di abad ke-31 SM. Di Cina juga terjadi hal yang sama (tahun 2000 SM). Orang Yunani menggunakan sensus sebagai dasar penetapan pajak tahun 594 SM.
Kekaisaran Roma merupakan pemerintahan pertama yang secara intensif mengumpulkan data populasi penduduk, daerah jajahan, dan kekayaan jajahannya. Beberapa negara di Eropa sudah melakukan sensus secara kecil-kecilan. Raja Pepin di tahun 758 dan Raja Charlemagne di tahun 762 memberi perintah untuk mencatat perpindahan penduduk. Raja William I dari Inggris, berdasar ide Norman si Penakluk Inggris, tahun 1066 mengadakan sensus yang selesai tahun 1086.
Catatan kelahiran dan kematian dimulai di Inggris awal abad ke-16. Tahun 1662 studi tentang statistik populasi penduduk mulai dilakukan dan hasil penelitian ditulis pada London Bills of Mortality. Studi yang sama dilakukan di Breslau, Jerman, tahun 1691 oleh ahli astronomi Inggris Edmond Halley (ingat Komet Halley) yang berhasil membuat tabel kelahiran dan kematian. Di Abad ke-19 dengan aplikasi metode ilmiah dari ilmu pasti dan ilmu sosial, para peneliti mampu mengubah informasi menjadi data numeris untuk mengurangi ambiguitas penafsiran deskripsi secara verbal.
Saat ini statistik merupakan alat yang andal untuk menjelaskan secara akurat data ekonomi, politik, sosial, psikologi, biologi, dan lainnya. Juga berfungsi sebagai alat untuk menganalisis dan mengorelasikan berbagai data. Pekerjaan ahli statistik tidak hanya mengumpulkan dan menabulasi data, tetapi juga memroses dan menafsirkan informasi yang diperoleh. Pengembangan teori kemungkinan menambah luasnya statistik. Banyak data yang bisa diperkirakan secara tepat dengan distribusi probabilitas dan hasilnya digunakan untuk menganalisis data statistik.
Lalu, mengapa kedua pemimpin tadi sepertinya membenci statistik? Persoalannya bisa saja karena kecewa akibat kenyataan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dari sini muncul ketidakpercayaan terhadap analisis data statistik karena merasa dibohongi. Ambil contoh tingkat inflasi. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi bulan Juni 2004 sebesar 0,48%. Padahal, menurut hitungan kita, tingkat inflasi itu lebih tinggi karena nilai rupiah menurun terhadap dolar AS. Di sini mungkin kita lupa bahwa variabel penghitung inflasi antara BPS dan kita mungkin berbeda. Dengan begitu, hasilnya tentu saja berbeda.
Jadi, data statistik sebenarnya bukan membohongi kita. Yang terjadi, kita tidak sepandangan dalam "menafsirkan" data itu dengan si penyusun data.
No comments:
Post a Comment